Sabtu, 10 Oktober 2009

HASIL SIMPOSIUM NASIONAL PENDIDIKAN


DEKLARASI HASIL SIMPOSIUM NASIONAL PENDIDIKAN
BEM FISIP UNIVERSITAS INDONESIA BERSAMA ELEMEN-ELEMEN PEDULI PENDIDIKAN

Kami yang bertanda tangan di bawah ini, selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2009-2014 dengan ini menyatakan bahwa kami bersedia menjadikan keputusan rekomendasi kebijakan pendidikan yang dihasilkan SIMPOSIUM NASIONAL PENDIDIKAN dengan tema “Membangun Visi Pendidikan Indonesia” sebagai bahan pertimbangan pembuatan kebijakan pendidikan Indonesia yang diselenggarakan oleh BEM FISIP UI 2009 dan disusun dengan melibatkan elemen – elemen pendidikan yaitu: PGRI, Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Ahli Pendidikan, Dosen – dosen UI, perwakilan mahasiswa UI, perwakilan mahasiswa UNDIP, perwakilan mahasiswa UGM, perwakilan mahasiswa UNJ, perwakilan mahasiswa USU, dan perwakilan LSM pendidikan (Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal). Adapun rekomendasi kebijakan pendidikan ini diputuskan pada 10 Oktober 2009 di Balai Sidang BNI Universitas Indonesia, Depok.
Depok, 10 Oktober 2009


Anggota DPR RI Periode 2009-2014,








Harun Al Rasyid Sukur H. Nababan









HASIL KEPUTUSAN SIDANG PLENO
SIMPOSIUM NASIONAL PENDIDIKAN
“MEMBANGUN VISI PENDIDIKAN INDONESIA”
BEM FISIP UI BERSAMA ELEMEN-ELEMEN PEDULI PENDIDIKAN
Sabtu, 10 Oktober 2009
Balai Sidang BNI UI Depok

Covenant Ecosoc harus direalisasikan dengan implementasi di dalam kebijakan-kebijakan pendidikan. Berlandaskan pengembangan kemampuan dan membentuk watak serta membangun peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai Pancasila dan UUD 1945

REKOMENDASI

Jangka Pendek

1. Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara
a. Mewujudkan anggaran pendidikan 20 % di luar gaji guru dan sekolah kedinasan. Gaji guru
dimasukkan ke belanja rutin pemerintah
b. Peningkatan fasilitas pendidikan
c. Optimalisasi anggaran untuk pendidikan khusus/ inklusi/SLB
d. Anggaran pendidikan murni untuk diknas
e. Memperhatikan akses pemerataan, sinergitas antara pusat dan daerah
f. Menyusun skala prioritas pengeluaran APBN yang berorientasi kepada kepentingan publik
g. Mengalokasikan anggaran pendidikan untuk seluruh pendidikan alternatif
2. Ujian Nasional (UN) tidak dijadikan penentuan kelulusan, akan tetapi dijadikan sebagai
standar evaluasi dan pemetaan mutu pendidikan.
3. Evaluasi terhadap menajemen pendidikan :
a. Pengawasan terhadap instansi pendidikan
b. Akses pendidikan di semua jenjang pendidikan harus terbuka lebar bagi semua lapisan
masyarakat sebagai upaya pemerataan kualitas SDM bangsa Indonesia
c. Hapus kartu keluarga dan akte kelahiran sebagai syarat masuk pendidikan dasar
d. Output pendidikan diarahkan untuk pembentukan karakter nasional
e. Menyusun data demografis pendidikan yang lengkap dan valid
4. Cabut Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) termasuk merevisi Pasal 53 UU
no.20 tahun 2003 ( UU Sisdiknas)
5. Mewujudkan good governance di lembaga pendidikan
6. Mempertimbangkan kembali standardisasi kurikulum nasional khususnya untuk
memberdayakan kurikulum tingkat satuan pendidikan
7. Peningkatan kualitas SDM tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya untuk guru
pendidikan khusus/SLB/inklusi
8. Mengangkat guru honorer menjadi PNS sesuai kebutuhan sekolah negeri dan menerapkan
sistem penggolongan di sekolah swasta
9. Mengadakan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan pendidikan dengan
memberdayakan lembaga yang sudah ada
10. Revisi UU Sisdiknas mengenai pengertian pendidikan dasar

Jangka Panjang

1. Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan
2. Peningkatan kesejahteraan guru berupa jaminan hari tua dan rumah
3. Wajib belajar 12 tahun
4. Klasifikasi guru hanya terdiri dari guru PNS dan guru swasta


Rekomendasi ini disusun dan disepakati dalam Simposium Nasional Pendidikan


Depok, 10 Oktober 2009,



Atas Nama,





(PGRI) (FGII) (Ahli Pendidikan)






(Dosen FISIP UI) (BEM UI ) ( BEM FEB UGM)






(BEM FH UNDIP) (PEMA PSIKOLOGI USU) (LAPAM)









Read More...

Rabu, 07 Oktober 2009

Organisasi guru independen yang mensejahterakan, perlukah?



Dipublikasi pada Tuesdaydi www. depsos.go.id, 27 May 2008

Oleh : Nur Adi Setyo


Ada rekan saya yang mengajar di sebuah sekolah swasta, sejak ia direkrut yayasan sekolahnya ia tidak pernah disodori kontrak kerja, tidak ada alasan jelas mengapa yayasannya tidak memberikan surat kontrak kerja yang seharusnya menjadi landasan kerja, hak serta kewajibannya.

Hingga saat ini, setelah memasuki tahun ketiga ia mengajar, kontrak itupun tak kunjung datang, pihak yayasan selalu mengedepankan tentang pentingnya keikhlasan, dedikasi, loyalitas dan tetek bengeknya sebagai konsekwensi dari kewajiban-kewajibannya sebagai seorang guru.

Namun untuk urusan yang menyangkut hak-hak guru, jawaban selalu dibenturkan kepada tidak adanya dana yayasan yang mencukupi, bahkan Pada tahun ajaran baru tiba-tiba rekan saya tidak mendapatkan jadwal mengajar lagi, dan dipaksa ,membuat surat pengunduran diri!

Rekan saya yang lain, si B saat mengajar disekolah unggulan yang biaya masuk siswanya mencapai delapan jutaan dan SPP nya Rp 300. ribu perbulan, hanya memberikan gaji setengah dari UMK. Sedangkan kontrak kerja hanya berlaku satu tahun saja. Yang lebih aneh jika si B cuti (melahirkan) maka gajinya dipotong untuk membayar guru yang menggantikanya. Setelah si B ini meminta penjelasan, akhirnya dipecat juga…..

Rekan saya satu lagi menjadi anggota sebuah organisasi guru sudah tiga tahun, tetapi tidak pernah mendapatkan advokasi apapun, jikapun ia mengadu tidak tahu caranya dan sudah takut lebih dahulu, alasannya ia hanya guru swasta. Sedangkan organisasi itu konon katanya hanya milik guru yang memiliki NIP saja.

Dalam seminar dan lokakarya nasional yang diadakan oleh Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) di Jakarta, Sabtu (24/5), hampir semua utusan dari daerah-daerah di Indonesia mengeluhkan minimnya pemenuhan hak-hak guru serta kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan guru, baik guru negeri apalagi guru swasta.

Membangun kesadaran.

Sebagai sebuah profesi, sudah selayaknya jika guru dapat berhimpun bersama dalam sebuah wadah organisasi profesi sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang dasar 1945.

Idealnya setiap sekolah mempunyai wadah organisasi guru seperti juga adanya organisasi buruh di perusahaan-perusahaan. Sudah pasti hambatan pertama adalah dukungan dari birokrat internal sekolah yang takut kehilangan ‘power’.

Undang Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, belum tersosialisai dengan baik, dan itu tugas kita bersama untuk memberikan pemahaman kepada stakeholder pendidikan.

Rekomendasi

Belajar dari kasus diatas, ada beberapa hal yang mesti dilakukan agar hak atas perlindungan guru dalam menjalankan tugas dapat dinikmati oleh guru, yaitu:

  1. Adanya kesadaran dari para guru untuk menjadi anggota dari organisasi guru dan berpartisipasi secara aktif dan produktif untuk membangun dan mengoptimalkan fungsi dan peran organisasi profesi guru;
  2. Adanya organisasi profesi guru yang benar-benar independen, kuat dan solid serta benar-benar berpihak pada guru, sehingga guru memiliki posisi tawar yang baik dengan pihak lain;
  3. Adanya sosialisasi terkait dengan semua regulasi yang mengatur hak atas perlindungan guru dalam melaksanakan tugas secara lebih inten dan menyeluruh baik kepada guru, pihak yayasan penyelenggara pendidikan, birokrasi pendidikan, masyarakat dan stakeholder pendidikan yang lain, sehingga seluruh pihak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama terkait dengan hak atas perlindungan guru dalam melaksanakan tugas;
  4. Perlu dibangun sinergi dan kerjasama yang produktif antara organisasi guru dengan stakeholder lain yang kredibel, baik dari kalangan Pers, NGO, dan CSO sehingga perjuangan guru tidak sendirian;
  5. Diperlukan adanya forum yang mempertemukan seluruh stakeholder pendidikan untuk membahas, menyepakati dan mengimplementasikan hak guru untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas, sebagaimana diamanahkan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya Pasal 14 Ayat (1) poin c dan Pasal 39.
  6. Dalam melakukan advokasi terhadap kasus-kasus yang menimpa guru maupun kebijakan pendidikan, hendaknya dilakukan secara terencana, matang dan menggunakan berbagai macam pendekatan, baik dialogis maupun bentuk aksi-aksi yang konstruktif lainnya.
  7. Selamat berjuang teman-teman guru, sampai berhasil.

Read More...

Kamis, 01 Oktober 2009

definisi guru

definisi guru

Oleh : pak adi

Guru itu tak boleh demo,

sebab meninggalkan anak-anak belajar sendiri
sebab demo itu perbuatan tak terpuji
sebab demo itu harus diorganisir
sebab demo itu pekerjaan para pemberontak
sebab guru tidak boleh memberi contoh yang buruk

Guru tak boleh protes,
sebab protes itu melawan atasan
sebab protes itu menunjukkan tidak ikhlas
sebab protes itu tidaklah sopan

Guru tak boleh kaya
sebab kaya itu milik pengusaha dan penguasa
sebab kaya itu banyak fasilitas
sebab kaya itu tidak tawadu'
sebab kaya itu tidak sederhana

Guru adalah,
bersepeda butut, berpakaian lusuh, berkacamata tebal dan memakai peci yang
mulai berubah warna.

Guru adalah,
yang bisa pasrah dengan keadaan, harus mematikan nurani dan menyalakan
peng'abdi'an. nrimo ing pandum
Guru adalah,
yang hidup dengan miskin agar bisa mengajarkan arti
kesederhanaan.

Guru adalah,
yang kreatif, sebab tak boleh meminta fasilitas

Guru adalah,
pahlawan tanpa tanda jasa, maka saat dikubur tak perlu "nisan" agar

segera dilupakan


Read More...

PERAN GURU

PERAN GURU

DALAM PENENTUAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN DAN

INOVASI PEMBELAJARAN[1]

 

Oleh : SUPARMAN[2]

 

 

Peran startegis guru meletakan dasar-dasar yang kuat bagi masa depan bangsa tidak dapat diragukan lagi. Etika berpolitik, nasionalisme, patriotisme, humanisme, sains-teknologi kemanusiaan dan estetika anak/peserta didik mulai dipertaruhkan masa depannya ketika terjadi interaksi guru-murid baik dalam kegiatan pembelajaran di kelas maupun diluar kelas. Kegagalan membangun dasar-dasar yang kuat dalam interaksi tersebut memberi peluang bagi kegagalan masa depan bangsa. Inilah ideal peran strategis guru. Bagaimana realitasnya?

 

Yuridis :

 

Dilihat dari sisi profesinya saat ini guru diatur oleh UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP SNP, dan PP Guru.

 

Secara mikro, Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PPSNP) menyebutkan bahwa : “Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik”.  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebenarnya dapat dijadikan pintu masuk bagi setiap guru bersama satuan pendidikannya untuk melakukan berbagai inovasi pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik subyek belajar di satuan pendidikannya. Ditambah dengan otonomi yang semestinya dimiliki oleh guru sebagai pekerja profesi maka sebenarnya berbagai terobosan untuk melahirkan inovasi pembelajaran termasuk pembelajaran bervisi sets menjadi terbuka cukup lebar.

 

Dalam konteks yang luas di tingkat satuan pendidikan peran guru secara yuridis cukup memberi peluang. PPSNP Pasal 52 ayat (2) Menyebutkan bahwa : ”Rapat Dewan Pendidik memutuskan Pedoman kerja Satuan Pendidikan seperti: kurikulum sekolah, kalender pendidikan, pembagian tugas pendidik, peraturan akademik dan kode etik hub antar guru dan dengan masyarakat”.

 

 

Pasal 53 ayat 3 PPSNP menyebutkan bahwa : ”Rencana kerja satuan pendidikan ; Kalender pendidikan, jadwal kurikulum, mata pelajaran yang ditawarkan, buku teks, jadwal penggunaan sarana, pengadaan bahan habis pakai, program peningkatan pendidik/tenaga kependidikan, jadwal rapat dewan pendidik, termasuk RAPBS harus disetujui rapat dewan pendidik setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite Sekolah/Madrasah”

 

PPSNP Pasal 54 ayat (4) menyebutkan bahwa : ”Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala satuan pendidikan kepada rapat dewan pendidik dan komite sekolah”.

 

Ketiga pasal PPSNP ini secara tegas menempatkan posisi guru yang cukup strategis di tingkat satuan pendidikan. Dewan Guru/Dewan Pendidik menjadi sangat strategis ketika memiliki posisi penentu dari sejumlah kebijakan pendidikan bersama dengan komite sekolah.Mulai dari penentuan kalender akademik sampai memberi persetujuan RAPBS dan menilai pertanggungjawaban kepala sekolah. (catatan : masa sebelumnya peluang ini belum ada, dan bahkan di tingkat implementasi sampai saat ini peran guru sangat terbatas).

 

Dalam konteks yang lebih luas lagi UU Guru Pasal 14 ayat 1 menyebutkan bahwa : “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan guru BERHAK memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan”.

 

Secara lebih lengkap peran guru untuk ikut dalam penentuan kebijakan pendidikan termuat didalam PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Pasal 45 PP Guru menyebutkan bahwa:

(1)   Guru memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat:

a.       satuan pendidikan;

b.      kabupaten atau kota;

c.       provinsi; dan

d.      nasional.

(2)   Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan di tingkat satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a.       penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya;

b.      penetapan kalender pendidikan di tingkat satuan pendidikan;

c.       penyusunan rencana strategis;

d.      penyampaian pendapat menerima atau menolak laporan pertanggungjawaban anggaran dan pendapatan belanja sekolah;

e.       penyusunan anggaran tahunan satuan pendidikan;

f.       perumusan kriteria penerimaan peserta didik baru;

g.      perumusan kriteria kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

h.      penentuan buku teks pelajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)   Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat kabupaten atau kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam:

a.       penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan;

b.      penyusunan rencana strategis bidang pendidikan; dan

c.       kebijakan operasional pendidikan daerah kabupaten atau kota.

(4)   Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam:

a.       penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan;

b.      penyusunan rencana strategis bidang pendidikan; dan

c.       kebijakan operasional pendidikan daerah propinsi.

(5)   Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam:

a.       penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan;

b.      penyusunan rencana strategis bidang pendidikan; dan

c.       kebijakan operasional pendidikan tingkat nasional.

(6)   Saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) disampaikan baik secara individual, kelompok, atau melalui Organisasi Profesi Guru, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kendala :

1.      Masih kuatnya budaya birokrasi (birokratisasi) profesionalisme guru.

Birokratisasi profesi guru di jaman orde baru telah menghasilkan mayoritas guru bermental pegawai. Orientasi jabatan sangat kental melekat dalam diri para guru. Jabatan guru utama sebagaimana layaknya guru besar di perguruan tinggi tidak lagi dilihat sebagai tujuan puncak karir yang harus diraih seorang guru melainkan lebih pada jabatan kepala sekolah atau jabatan-jabatan birokrasi lainnya di dinas-dinas pendidikan maupun di departemen pendidikan. Semangat profesionalismenya luntur seiring terjadinya disorientasi jabatan ini.

Birokratisasi juga menciptakan hubungan kerja “atasan-bawahan” yang lambat laun menghilangkan kesejatian profesi guru yang seharusnya merdeka untuk menentukan berbagai aktivitas profesinya tanpa harus terbelenggu oleh juklak dan juknis (petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis) yang selama ini menjadi bagian dari budaya para birokrat. Guru menjadi tidak kreatif, kaku, hanya berfungsi sebagai operator atau tukang dan takut melakukan berbagai pembaruan.

Rasa takut itu pada akhirnya semakin memperkokoh kekuasaan birokrasi dengan menjadikan guru sebagai bagian dari pegawai-pegawai bawahan yang harus tunduk patuh pada perintah “atasan”. Guru yang berani mengritik apalagi memprotes tindakan “atasan” yang tidak benar dengan mudah diperlakukan sewenang-wenang seperti diintimidasi, dimutasi, diturunkan pangkatnya atau bahkan dipecat dari pekerjaannya. Kasus mutasi Waldonah di Temanggung, kasus mutasi 10 orang guru di Kota Tangerang, kasus pemecatan Nurlela dan mutasi Isneti di Jakarta, dan beberapa kasus penindasan terhadap guru di berbagai daerah menunjukkan begitu kuatnya proses birokratisasi profesi guru sampai saat ini.

Proses yang sama terjadi pula sampai kedalam kelas. Dalam proses pembelajaran masih banyak guru yang tidak membangun suasana pembelajaran yang demokratis dan terbuka. Anak-anak didik dijadikan ”bawahan-bawahan” baru yang harus tunduk dan patuh pada guru sesuai dengan juklak dan juknis atau atas nama kurikulum (dikutip dari artikel sendiri ”Jangan Takut Menjadi Guru”, Kompas, 27 Maret 2006);

2.      Inkonsistensi peraturan perundang-undangan :

Pengembangan profesionalisme guru melalui aturan KTSP ternyata masih menyisakan adanya campur tangan pemerintah/pemda sehingga pengembangan otonomi guru dan satuan pendidikan menjadi tidak maksimal. Usaha pengembangan akhirnya terganjal dengan aturan yang mengharuskan guru dan satuan pendidikan terikat sesuai dengan petunjuk dan malahan proses pembelajaran yang dikembangkan secara otonom menjadi terabaikan.

Jika pasal 17 ayat (1) PPSNP guru bersama satuan pendidikan diberi kebebasan mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi yang ada di setiap satuan pendidikan maka ternyata dalam pengembangannya masih harus diawasi oleh pemerintah/pemerintah daerah. Pasal 17 Ayat (2) PPSNP menyebutkan bahwa : ”Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK”.

Pasal 16 ayat (1) PPSNP menyebutkan bahwa :” (1) Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP”.

Dalam UU Sisdiknas pasal 58 ayat (1) disebtkan bahwa : “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Ini menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi secara proses sampai dengan penentuan kelulusan peserta didik sepenuhnya dilakukan oleh pendidik, tetapi kenyataannya didalam pasal 64 dan 66 PPSNP pasal ini ditafsirkan lain sehingga evaluasi hasil belajar dapat dilakukan oleh satuan pendidikan dan oleh pemerintah. Pasal inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh pemerintah untuk tetap menyelenggarakan Ujian Nasional. Kebijakan UN inilah yang melahirkan kontroversial dalam dunia pendidikan karena sejumlah pakar, pendidik, pengamat dan masyarakat dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pedagogis, pemborosan uang negara, dan tidak adil buat peserta didik (saat ini gugatan UN sedang diproses MA terkait dengan putusan PN Jakpus diperkuat oleh PT DKI yang secara subsidair memenangkan gugatan masyarakat, dan akhirnya pemerintah melakukan kasasi).

Kebijakan UN ini akhirnya diperkuat juga dengan UU Guru dan Dosen yang memberikan hak kepada guru untuk sekedar ikut dalam penentuan kelulusan peserta didik (Pasal 14 ayat (1) f );

 

3.      Kurangnya pemahaman guru terhadap peraturan perundang-undangan:

 

Dalam setiap pertemuan akademis, seperti seminar dan diskusi ketika ditanyakan siapa saja guru yang pernah membaca UU Guru, kebanyakan mereka belum membaca. Bahkan banyak guru yang belum pernah mengetahui ada UU Guru. Banyak guru swasta yang belum pernah mengetahui bahwa hubungan kerja antara dirinya sebagai pekerja profesi dengan satuan pendidikannya selama ini semestinya dipayungi oleh UU Ketenagakerjaan dan jika terjadi persoalan hubungan kerja, jika perundingan tidak tercapai maka penyelesaiannya harus dilakukan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Saat ini ada UU BHP dan PP Guru yang juga ikut mengatur guru yang belum diketahui oleh banyak guru. Banyak guru yang belum mengetahui adanya hak kebebasan berserikat sebagai cara bernegosiasi dan hak untuk memperoleh perlindungan.

 

Perlindungan Guru :

 

Undang- Undang  Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa salah satu prinsip profesionalitas guru adalah ”Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”,  dan pasal 14 ayat (1) poin c menyebutkan pula bahwa : “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual”.

 

Pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa perlindungan yang berhak diperoleh oleh guru terdiri dari:

    1. Perlindungan hukum
    2. Perlindungan profesi
    3. Perlindungan keselamatan kerja
    4. Perlindungan kesehatan kerja

 

Perlindungan hukum meliputi perlindungan guru dari tindakan-tindakan :

a.       Kekerasan;

b.      Ancaman;

c.       Perlakuan diskriminatif;

d.      Intimidasi;

e.       Perlakuan tidak adil.

 

Yang dilakukan oleh pihak-pihak antara lain :

a.       Peserta didik;

b.      Orangtua peserta didik;

c.       Masyarakat;

d.      Birokrasi; atau

e.       Pihak lain.

 

Perlindungan profesi meliputi perlindungan dari tindakan-tindakan :

a.       Pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

b.      Pemberian imbalan yang tidak wajar;

c.       Pembatasan dalam menyampaikan pandangan;

d.      Pelecehan terhadap profesi; dan

e.       Pembatasanpelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.

 

Perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja meliputi perlindungan dari hal-hal sebagai berikut :

a.       Resiko gangguan keamanan kerja;

b.      Kecelakaan kerja;

c.       Kebakaran pada waktu kerja;

d.      Bencana alam;

e.       Kesehatan lingkungan kerja; dan/atau

resiko lain.

 

Yang wajib memberikan perlindungan kepada guru :

a.       Pemerintah;

b.      Pemerintah daerah;

c.       Masyarakat;

d.      Organisasi profesi;

e.       Satuan pendidikan

 

 

Kreativitas guru pada dasarnya sudah memiliki ruang secara yuridis, saat ini tinggal bagaimana guru mau menyikapi dengan sungguh-sungguh untuk membangun kreativitas sekaligus terus berjuang meluruskan inkonsistensi kebijakan negara/pemerintah yang memberikan otonomi sepenuhnya kepada guru. Mari kita bangun solidaritas guru dan pendidik lainnya untuk memperbaiki pendidikan...

 

 

 

 



[1] Disampaikan pada Seminar Nasional tentang “Visi SETS dalam Pembelajaran Lintas Usia” yang diselenggarakan oleh DPC FGII Kota Administratif Depok, Sabtu, 14 Februari 2009 di Gedung MUI Depok.

[2] Pemakalah adalah Ketua Umum DPP FGII dan Ketua Perkumpulan Sekolah Guru Kihadjar (Kita BerHak atas PenDidikan dan PengaJaran).

Read More...