Rabu, 07 Oktober 2009

Organisasi guru independen yang mensejahterakan, perlukah?



Dipublikasi pada Tuesdaydi www. depsos.go.id, 27 May 2008

Oleh : Nur Adi Setyo


Ada rekan saya yang mengajar di sebuah sekolah swasta, sejak ia direkrut yayasan sekolahnya ia tidak pernah disodori kontrak kerja, tidak ada alasan jelas mengapa yayasannya tidak memberikan surat kontrak kerja yang seharusnya menjadi landasan kerja, hak serta kewajibannya.

Hingga saat ini, setelah memasuki tahun ketiga ia mengajar, kontrak itupun tak kunjung datang, pihak yayasan selalu mengedepankan tentang pentingnya keikhlasan, dedikasi, loyalitas dan tetek bengeknya sebagai konsekwensi dari kewajiban-kewajibannya sebagai seorang guru.

Namun untuk urusan yang menyangkut hak-hak guru, jawaban selalu dibenturkan kepada tidak adanya dana yayasan yang mencukupi, bahkan Pada tahun ajaran baru tiba-tiba rekan saya tidak mendapatkan jadwal mengajar lagi, dan dipaksa ,membuat surat pengunduran diri!

Rekan saya yang lain, si B saat mengajar disekolah unggulan yang biaya masuk siswanya mencapai delapan jutaan dan SPP nya Rp 300. ribu perbulan, hanya memberikan gaji setengah dari UMK. Sedangkan kontrak kerja hanya berlaku satu tahun saja. Yang lebih aneh jika si B cuti (melahirkan) maka gajinya dipotong untuk membayar guru yang menggantikanya. Setelah si B ini meminta penjelasan, akhirnya dipecat juga…..

Rekan saya satu lagi menjadi anggota sebuah organisasi guru sudah tiga tahun, tetapi tidak pernah mendapatkan advokasi apapun, jikapun ia mengadu tidak tahu caranya dan sudah takut lebih dahulu, alasannya ia hanya guru swasta. Sedangkan organisasi itu konon katanya hanya milik guru yang memiliki NIP saja.

Dalam seminar dan lokakarya nasional yang diadakan oleh Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) di Jakarta, Sabtu (24/5), hampir semua utusan dari daerah-daerah di Indonesia mengeluhkan minimnya pemenuhan hak-hak guru serta kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan guru, baik guru negeri apalagi guru swasta.

Membangun kesadaran.

Sebagai sebuah profesi, sudah selayaknya jika guru dapat berhimpun bersama dalam sebuah wadah organisasi profesi sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang dasar 1945.

Idealnya setiap sekolah mempunyai wadah organisasi guru seperti juga adanya organisasi buruh di perusahaan-perusahaan. Sudah pasti hambatan pertama adalah dukungan dari birokrat internal sekolah yang takut kehilangan ‘power’.

Undang Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, belum tersosialisai dengan baik, dan itu tugas kita bersama untuk memberikan pemahaman kepada stakeholder pendidikan.

Rekomendasi

Belajar dari kasus diatas, ada beberapa hal yang mesti dilakukan agar hak atas perlindungan guru dalam menjalankan tugas dapat dinikmati oleh guru, yaitu:

  1. Adanya kesadaran dari para guru untuk menjadi anggota dari organisasi guru dan berpartisipasi secara aktif dan produktif untuk membangun dan mengoptimalkan fungsi dan peran organisasi profesi guru;
  2. Adanya organisasi profesi guru yang benar-benar independen, kuat dan solid serta benar-benar berpihak pada guru, sehingga guru memiliki posisi tawar yang baik dengan pihak lain;
  3. Adanya sosialisasi terkait dengan semua regulasi yang mengatur hak atas perlindungan guru dalam melaksanakan tugas secara lebih inten dan menyeluruh baik kepada guru, pihak yayasan penyelenggara pendidikan, birokrasi pendidikan, masyarakat dan stakeholder pendidikan yang lain, sehingga seluruh pihak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama terkait dengan hak atas perlindungan guru dalam melaksanakan tugas;
  4. Perlu dibangun sinergi dan kerjasama yang produktif antara organisasi guru dengan stakeholder lain yang kredibel, baik dari kalangan Pers, NGO, dan CSO sehingga perjuangan guru tidak sendirian;
  5. Diperlukan adanya forum yang mempertemukan seluruh stakeholder pendidikan untuk membahas, menyepakati dan mengimplementasikan hak guru untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas, sebagaimana diamanahkan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya Pasal 14 Ayat (1) poin c dan Pasal 39.
  6. Dalam melakukan advokasi terhadap kasus-kasus yang menimpa guru maupun kebijakan pendidikan, hendaknya dilakukan secara terencana, matang dan menggunakan berbagai macam pendekatan, baik dialogis maupun bentuk aksi-aksi yang konstruktif lainnya.
  7. Selamat berjuang teman-teman guru, sampai berhasil.

0 komentar:

Posting Komentar