Minggu, 02 Mei 2010

kegagalan Ujian Nasional

Ujian nasional tingkat SMA yang baru saja diumumkan membuat kita tercengang, tingkat ketidaklulusan yang mencapai 12% akhirnya membuat masyarakat resah dan cemas, khusus untuk kota Depok beberapa saat yang lalu tercatat 1321 siswa yang tidak lulus (antara).

FGII bersama Aliansi Pelajar & Masyarakat Tolak Ujian Nasional yang telah lama melakukan upaya-upaya dan langkah hukum untuk menolak penyelanggaraan ujian nasional mendapatkan dukungan dari masyarakat yang peduli dengan carut marutnya dunia pendidikan kita.

Masyarakat disadarkan kembali, bahwa ujian nasional yang dilakukan pemerintah memang tidak layak untuk dijadikan tolok ukur kelulusan siswa dari setiap jenjang pendidikan. Oleh sebab itu wajar saja jika penolakan terhadap penyelaggaraan Ujian Nasional semakin menggema.

Ujian nasional harus ditolak karena secara yuridis terbukti melanggar Hak Asasi Manusia khususnya hak-hak anak dan tidak sejalan dengan UU sistem Pendidikan nasional, UU Perlindungan Anak.

Secara pedagogis ujian nasional telah mengabaikan penilain dalam proses pembelajaran karena hanya berorintasi kepada nilai akhir, menafikan peran guru pelajaran karena harus diganti oleh bimbel yang relatif mahal, dan membelenggu siswa dengan mata pelajaran khusus yang di UN kan dan yang paling parah adalah hilangnya kepercayaan siswa kepada sekolah tempatnya belajar dan kepada guru pengajarnya.

Hal itu diperparah dengan kondisi psikologis siswa yang merasa tertekan, was-was dan penuh kekhawatiran sehingga memunculkan penyakit, bahkan siswa ada yang berusaha bunuh diri akibat dari efek negatif UN.

Bukan hanya itu, UN juga menambah beban ekonomi yang tak sedikit karena para siswa harus membeli buku-buku tambahan, mengikuti les dan bimbel atau kegiatan lain yang disebut dengan pendalaman materi. Negara pun dalam urusan ini harus mengeluarkan biaya ratusan milyar dari APBN dan APBD.

Upaya hukum yang dilakukan secara intensif melalui pengadilan membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST dalam pokok perkara :

1. Mengabulkan gugatan Subsidair Para Penguggat;

2. Menyatakan para tergugat, Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Pendidikan Nasional dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manuasia terhadap warga negaranya yang menjadi korban ujian nasional (UN), khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak;

3. Memerintahkan kepada para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelangkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap diseluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan pelakasanaan ujian nasional lebih lanjut;

4. Memerintahkan kepada para tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional;

5. Memerintahkan kepada para tergugat untuk meninjau kembali sistem pendidikan nasional;

6. Menghukum para tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini berjumlah Rp. 374.000,-(tiga ratus tujuh puluh empat ribu rupiah).

Pemerintah melakukan banding dan pada tanggal 6 Desember 2007 Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan kembali dengan putusan Nomor : 337/PDT/2007/PT.DKI.

Pemerintah merespon putusan itu dengan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dan pada akhirnya kasasi tersebut DITOLAK melalui Putusan Nomor : 2596K/PDT/2008

Selain persoalan ujian nasional FGII juga menyoroti persoalan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang hanya berorintasi kepada komersialisasi pendidikan sehingga RSBI diplesetkan menjadi Rintisan Sekolah Bertarif Internasional. Dampaknya adalah RSBI hanya dapat diikuti oleh mereka yang berkantong tebal sehingga melanggar prinsip keadilan dimasyarakat dan cenderung diskriminatif.

Keberadaan RSBI dikota depok saat ini dilandaskan kepada prinsip tidak mau ketinggalan dengan daerah lain maka harus dibuat RSBI (keterangan yang diberikan oleh pejabat dinas pendidikan), bukan kepada kebutuhan masyarakat.

RSBI lahir karena pemerintah kita yang bingung dan tidak percaya dengan sistem pendidikan yang mereka buat sendiri. Bukankah akan lebih baik jika pemerintah mengevaluasi dan memperkuat sisdiknas yang mampu membuat kita bersaing dengan dunia internasional, menyenangkan siswa dan humanis. RSBI yang berbiaya besar akan menjadi kelas ekslusif strata sosial dimasyarakat yang akan berujung kepada sikap kecemburuan sosial.

Munculnya sekolah internasional dengan mengadopsi kurikulum internasional hanya memakai tenaga pengajar asing, adapun orang indonesia hanya dijadikan OB dan tenaga tata usaha, bukankah kebijakan ini mengesampingkan pendidikan yang berfungsi juga untuk mengangkat budaya dan martabat bangsa dengan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan tentu saja bertentangan dengan UUD NKRI.

Nur Adi Setyo

0 komentar:

Posting Komentar