Rabu, 18 Agustus 2010

Apa kabar mu “Oemar Bakri’?

Setelah 65 Tahun Indonesia Merdeka

Oleh : Nur Adi Setyo*
Iwan Fals, penyanyi yang sering melontarkan kritik sosialnya membuat lagu dan menyebut guru dengan panggilan ‘Oemar Bakri’, seorang guru bersahaja yang digambarkan mengendarai Sepeda Onthel, ia setiap hari pergi untuk mengajar pelajaran ilmu pasti, gajinya yang tak seberapa dan tergolong kecil sudah biasa dikebiri, padahal telah puluhan tahun ia mengabdi. Masihkah ada guru ‘Oemar Bakri’ saat sekarang ini?.

Guru adalah profesi yang unik, sebab sedari dulu guru diartikan dengan seseorang yang di gugu dan ditiru, jadi panutan, dan tentu saja di jadikan contoh. Tutur Kata dan Tingkah lakunya di masyarakat dijadikan cermin dan selalu dengan pesona yang tak ternilai, bahkan kalau boleh meminjam istilah dunia sufistik, mereka harus ma’sum atau terlindung dari perbuatan dosa.

Slogan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa di tempatkan sedemikian rupa, sehingga seringkali membuatnya rela membakar diri menjadi penerang bagi orang lain, menafikan kepentingan diri dan keluarganya demi kepentingan orang lain. Penulis sengaja menyebut ungkapan penghargaan yang mulia itu hanya sebagai sebuah slogan sebab, doktin absolut tentang tak terhitung jumlah jasa yang tiada cukup di buatkan simbol yang terpasang didada sehingga membuat guru terkungkung dalam situasi yang selalu tak enak, tak patut dan tak pantas. Guru yang baik tidak pantas membicarakan atau meminta nominal gaji, karena asumsinya adalah sang guru tidak mengajar dengan hati, guru tidak mengabdikan diri dan guru itu tidak pantas untuk memberikan pengajaran.
Perhatikan Iklan lowongan pekerjaan guru yang mensyaratkan tentang ke-profesional-an nya, dimulai dari latar pendidikannya, pengalaman kerjanya serta keaktifannya dalam dunia pendidikan yang harus dibuktikan dengan tebalnya tumpukan sertifikat dan piagam penghargaan, namun ironisnya saat wawancara kerja berlangsung dan biasanya tidak cukup hanya sekali, tetapi dilakukan hingga berulang kali yang meliputi tes kemampuan akademik, tes kemampuan bahasa internasional, tes kemampuan menggunakan komputer, tes mengajar (mikro teaching) serta tes psikologis. Ada juga lembaga pendidikan yang dengan sengaja menanyakan aktifitas politik calon guru, jika calon tersebut merupakan satu aliran yang sama, maka kemungkinan di terima menjadi guru akan jauh lebih besar. Dan pada tahap akhir maka pihak penyelenggara sekolah (Yayasan) akan dengan gampang menawarkan nominal gaji yang jauh dibawah UMR atau UMK, dan itupun masih dengan embel-embel status sebagai calon pegawai, hal ini akan berlangsung minimal 3 bulan hingga 6 bulan masa percobaan, bahkan ada yayasan yang mensyaratkan masa percobaan hingga dua tahun!.

Selama masa percobaan itu, seorang guru hanya mendapatkan sekianpersen dari gaji pokoknya, bukan 100% padahal hanya dari gaji pokoknya. Guru dengan ijazah S 1 dan berakta IV mendapatkan gaji pokok RP. 400.000, bandingkan dengan nominal UMK Kota Depok!.

Pemilik lembaga pendidikan pada umumnya tidak mau dan tidak memahami tentang standar gaji yang seharusnya ia berikan kepada karyawannya, mereka menolak mentah-mentah jika lembaga pendidikanya harus memberikan gaji sebesar UMK karena mereka beranggapan lembaganya adalah lembaga sosial bukan lembaga profit.

Kontrak kerja yang seharusnya memanusiakan profesi guru juga sering menjadi alat yang justru akan membelenggu guru tersebut di sekolah tempatnya mengajar, yayasan hanya memberlakukan kontrak kerja selama enam bulan atau satu semester saja, jika kinerjanya memuaskan maka akan dipertahankan, tapi jika tidak jangan pernah perfikir untuk mendapatkan kesempatan kedua, namun pada umumnya kontrak kerja berlaku dalam satu tahun ajaran, statusnya hanya guru kontrak atau guru tidak tetap yayasan, tak peduli seberapa lama seorang guru mengabdi. Sebuah kasus terjadi di sekolah swasta di kecamatan sukmajaya beberapa orang guru yang telah mengabdi lebih dari 10 tahun terancam dipecat hanya gara-gara mempersoalkan surat keterangan lama bekerja.

Yayasan hanya menghitung masa kerja satu tahun saja dengan alasan data hilang. Dan pada akhirnya terkuaklah misteri pengelolaan dana BOS yang dijadikan proyek oknum yayasan, dan para guru yang berusaha mencari tahu harus menerima kenyataan pahit itu.
UU Guru Pasal 14 ayat 1 dan PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru menyebutkan bahwa : “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan guru BERHAK memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan mulai dari tingkat satuan pendidikan, tingkat kab/kota, provinsi sampai tingkat nasional”.

Sudah saatnya guru menjadi salah satu komponen keberhasilan sebuah lembaga sekolah, suara guru diperhatikan karena sama pentingnya dengan suara yayasan dan suara komite sekolah, hilangkan aturan dan peraturan yang hanya dibuat untuk ‘mengakali’ cara membayar murah gaji guru.

Sudah selayaknya guru bersikap profesional karena memang sudah seharusnya demikian, janganlah alasan seorang guru yang tidak profesioanal maka guru yang lain mendapatkan dampaknya.

Kepada pemerintah baik di daerah ataupun yang berada dipusat, atau mereka yang mempunyai wewenang dengan pengurusan izin pendirian lembaga pendidikan hendaknya tidak begitu mudah menyetujui seseorang ataupun lembaga yang akan mendirikan lembaga pendidikan baru, buatlah aturan dan peraturan agar mereka sanggup memberikan gaji yang layak kepada mereka yang nantinya bekerja profesional di lembaga yang mereka pimpin.

Memang benar setiap individu mempunyai hak untuk mendefinisikan tentang makna kemerdekaan, dan sebagai pendidik kemerdekaan berarti merdeka dalam mengajar, merdeka dalam berserikat, merdeka dalam memperoleh pengahasilan yang memadai.
Pentingnya organisasi profesi guru.

Semua persoalan yang membelit guru baik dari aspek rohani (kenyamanan) maupun segala hal yang berkenaan dengan profesionalisme menjadi kewajiban semua pihak untuk dapat mengupayakan aturan dan peraturan yang lebih memanusiakan guru. Dan yang tak kalah pentingnya adalah agar profesi guru mendapatkan tempat yang lebih bermartabat dan sejajar dengan profesi yang lain dan dipandang secara profesional.

Pasal 41 UU Guru dan Dosen ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa :a. Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen;, b, Organisasi profesi tersebut berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat;, serta c, Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.

Namun harus diakui bahwa tingkat kesadaran guru akan pentingnya organisasi masih sangat kurang, keluhan tentang ketidakadilan perlakuan yang mereka terima hanya menjadi buah bibir. Adapun korban ketidakadilan hanya bisa mengeluh dan meratap dan tak tahu harus berbuat apa?.

Bukankah amanat kemerdekaan telah secara agung termaktub dalam muqaddimah pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan selalu kita baca dengan lantang di setiap upacara bendera,

”Penjajahan diatas dunia harus dihapuskan”.




• Guru di SMA IT Raflesia, Ketua I Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Kota Depok

0 komentar:

Posting Komentar