Minggu, 08 Agustus 2010

Tamu Irasional……………….

Pagi hari ini kusambut dengan agak bermalas-malasan, semenjak aku resaint dari tempat kerja memang terasa sekali aku mengalami degradasi spirit hidup.

Di jakarta ini tak terasa telah enam tahun ku jalani, selama kurun waktu itu aku telah beberapa kali gonta-ganti profesi, mulai dari freelance sebagai pengentri data, maintance komputer, guru prifat, wartawan, agen asuransi, penjual minuman, loper koran, eksportir jarak pagar, kontraktor dan terakhir menjadi kepala sekolah sekaligus menjadi guru.

Tetapi semua profesi yang kujalani itu belum memberikan hasil yang sepadan dengan kebutuhan hidup yang harus kupenuhi, sekedar untuk biaya ‘ngontrak’ sepetak kamar saja sudah senin kemis, belum lagi kebutuhan gizi anak-anakku.

Aku telah dikaruniai tuhan dengan mendapatkan tiga anak, yang sulung sudah berumur limat tahun, yang kedua berumur tiga tahun dan yang ketiga berumur dua tahun, oh iya, sebentar lagi anakku yang ketiga ini akan ulang tahun.

Perayaan ulang tahun ini menjadi prestise tersendiri bagi sebuah ‘kebahagiaan keluarga’. Beberapa hari yang lalu tetanggaku yang tukang ojek itu mengundang anak-anak kami untuk mengadakan pesta ulang tahun di rumahnya. Musiknya begitu hiruk pikuk memekakkan telingaku bercampur dengan suara cempreng anak-anak menyanyikan lagu ulang tahun. Ibu ibu yang ikut mengiringi anak-anaknya berpesta berkerumun diluar rumah dan sepertinya sambil ngerumpi juga.

Biasanya mereka akan membandingkan antara pestanya tetangga anu dengan pesta-pesta yang lain untuk diberi label nilai. Nilai akan bagus jika yang dibungkus dan bisa dibawa pulang berisi paket yang mahal, biasanya paket terdiri dari kartu ucapan terimakasih, jajanan dan sebuah mainan anak-anak.
Bahkan paket jajanan yang dinilai baik adalah yang lengkap berisi berbagai rasa, ada rasagurih, dan rasa manis dan tentu saja merek yang menentukannya, pizza, holland, atau rumah makan apa.

Semalam istriku sudah mengajakku berdiskusi tentang pesta ulang tahun ini,

“Kita malu yah, masak anak-anak kita sering diundang temen-temennya ulang tahun, kok kita belum pernah ngundang mereka, aku malu sama tetangga, kemaren udah ada yang nanya tapi menurutku sih nyindir…wah Neifa nanti pasti ulang tahunnya di mall nih..”.

“Ya.. anggap saja itu doa agar kita dapat rejeki nomplok”. Selorohku

“Makanya cari kerja yang bener, gajinya yang gede,lima juta deh minimal”.

“Wah kalau gajinya segitu ya harus jadi menejer di perusahaan besar, atau jadi de pe er de”.

“Ya sudah ngelamar saja jadi de pe er de!”

“Gini aja deh, entar ulang tahun Neifa kita buat nasi kuning dan garang asem ama bandeng isi telor, biar aku yang masak”.

Istriku berbinar, sebab masakan yang kusebutkan itu adalah makanan favoritnya. Aku punya sedikit keahlian untuk urusan masak memasak, dan bisa sedikit sombong jika dibandingkan dengan kemampuan istriku.

Istriku produk orang kota metropolitan Jakarta yang berfikiran serba praktis, prinsipnya disebut dengan Tebe,

“Tinggal beli aja, kok repot”.

Sementara aku orang kampung yang dari kecil sudah di doktrin ‘kalau bisa membuat sesuatu sendiri jangan beli karena lebih mahal’.

Termasuk juga untuk urusan belanja, orang tuaku selalu bilang;

“Nak, di Jakarta semua serba mahal, kalau bisa belanja ndak usah disuper market, dipasar saja pasti lebih murah dan ngirit”.

Aku butuh waktu berbulan-bulan untuk menghilangkan syok, bayangkan .. setiap awal bulan istriku belanja keperluan sehari-hari di mall dan menghabiskan uang antara tiga ratus hingga empat ratus ribu! , padahal uang itu baru belanja sabun, sampo dan susu yang termurah untuk dua minggu, belum termasuk ke urusan perut, beras, minyak dan sekedar mie instan.

Uang sebanyak itu jika kita hidup dikampung bisa untuk hidup dua bulan.

“Coba itung deh yah, tiga ratus ribu itu berarti kita hanya ngeluarin sepuluh ribu perhari, padahal kebutuhan minimal kita kan limapuluh ribu perharinya”. Istriku merasionalkan pola pikirku.

Pikiran-pikiran itulah yang membuatku malas menyambut hari ini, belum lagi untuk menghadapi bulan ramadhan ini yang disambung dengan lebaran iedul fitri.

Aku tak pernah cerita saja ke istriku, padahal sungguh besar hasratku lebaran tahun ini bisa mudik dan melakukan sungkem ke kedua orang tuaku, sejak aku menikah enam tahun yang lalu belum pernah sekalipun aku mudik,

“Kan, banyak program mudik bareng dari berbagai perusahaan yah”. Usul istriku di tahun yang lalu.
Ia tak tahu, biaya yang banyak itu bukan diurusan transportasinya, tetapi dirumahnya, uang amplop bagi prekencing-prekencing1, sarung dan baju dan songkok untuk keluarga, buah tangan saat silaturahim dan lain sebagainya.

Anggapan orang kampung bagi kita yang hidup dijakarta adalah contoh orang sukses yang mempunyai banyak uang.

Saat ini saja, jika ada famili yang selesai sekolah pasti nelpon minta kerjaan kepadaku, dan tentu saja aku akan mencari cara untuk menolaknya, aku yang sarjana saja susah mencari kerja apalagi saudaraku yang baru tamat dari sekolah lanjutan SMU atau SMK.

“Assalamu alaikum”….

“Walaikum salam”

Tiba-tiba lamunanku berantakan dengan munculnya tiga orang di depan rumah, yang satu hanya mengenakan kaos partai bergambar penguasa saat ini, wajahnya lusuh, kumis berwarna campuran antara hitam putih dan kemerahan, ia tersenyum dan terlihat gigi yang menguning kehitaman. Aku mengira pasti bahwa ia seorang perokok berat.

Yang dua orang sepertinya habis dari melakukan perjalanan jauh, terlihat dari tas yang mereka bawa serta sepatu yang mereka kenakan. Satu memakai batik yang mulai memudar warnanya, kuyakin warna sebelumnya adalah coklat tua tetapi sekarang telah berubah menjadi warna dengan definisi baru yang sulit ku temukan, dan yang satunya memakai kaus berkerah warna kuning kecoklatan.

“Betulkah ini rumahnya Mas Harto?”

Mas Harto itu adalah nama pangilan untuk Bapak Mertuaku, nama aslinya Hadi Suprapto yang entah mengapa lebih dikenal dengan nama panggilan Mas Harto, istriku pernah bercerita jika dulu bapaknya punya sejarah buram, seperti lazimya orang jawa abangan yang suka sekali dengan kebiasaan buruk yaitu berjudi, minum dan sabung ayam. Termasuk bapak yang masih menjaga tradisi menghabiskan waktu kongkow-kongkow sambil main kartu dan mencekek2 botol.

“Iya betul, Bapak-bapak ini siapa ya?”.

“Begini nak mas, kami ini adalah sahabat karib mas harto, sudah lamaaa sekali ndak ketemu, lalu kami mendengar berita katanya Mas Harto…….”.

“Betul pak, Beliau telah berpulang, sudah satu tahun yang lalu”

“Ooo….”

Nah….akhirnya tepat dugaanku, mereka ini pasti sahabat bapak waktu masih berada di jalan yang salah, sebab biasanya jika disebut dengan kematian seseorang akan spontan mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi rajiun walau kata-kata itu tidak bisa dijadikan barometer bagi keislaman seseorang, tetapi setidaknya bisa dijadikan ukuran bagi kebiasaan baiknya.

“Apakah bapak saya, maaf punya sangkutan dengan bapak-bapak?”. Tanyaku

“Oo, ndaaak, ndak ada, justru kedatangan kami kemari untuk memenuhi janji kami dulu”. Kata orang yang memakai batik

“Maksudnya?”

“Dulu… oh iya nama nak mas?”

“Mas Adi, Saya anak mantu beliau”

“Iya mas, dulu kami bisa disebut dengan istilah paseduluran3 lah, kami berempat melakukan ikrar, bagi siapa saja yang sudah berhasil tidak boleh melupakan yang lain, harus membantu yang lain”

Aha…. Inikah rejeki nomplok tempo hari yang kubicarakan sebagai doa?.. terbayang dipelupuk mataku warung bakso yang kuberinama “Kanza’s Meat Ball”, nama anak pertama yang kucita-citakan untuk merk dagang bakso ku. Aku sudah merasa jenuh berganti profesi, ingin wiraswasta saja jadi penjual bakso.

Aku ingin melanjutkan usaha mertuaku dahulu, ia bercerita tentang prospek penjualan baksonya yang sangat menjanjikan, tetapi harus berakhir karena kekhilafan judinya.

“Ehem…” Bapak yang memakai kaus kuning sepertinya tahu jika pikiranku melayang-layang.

“Maksudnya?”. Tanyaku dengan tidak sabar

“Saya tau nak mas butuh uang kan?”.

Ya ia lah, sudah lama aku butuh, dalam hatiku dan aku hanya menyungging senyum saja untuk menunjukkan keinginanku.

“Nak mas butuh berapa?”.

Oho…..Tuhaaan! terimakasih engkau telah mengirimkan orang-orang ini untuk menjawab do’a-do’aku.

Tapi berapa ya? Seratus juta, cukupkah?, cukup uang segitu sudah banyak kok, dialog dalam hatiku yang saling bersahutan.

“Sudah sebut saja jangan ragu-ragu”.

“Empat milyar, sepuluh milyar boleh..”.

Lho???, sebentar, kata milyar itu menyentak kesadaran akal sehatku, aku termangu untuk beberapa saat, benarkah orang-orang ini punya uang segitu banyak?? Dahiku berkenyit dan kupicingkan mataku, orang ini bukan Gayus yang terkenal itu, aku membandingkan penampilan Gayus dengan orang-orang yang duduk dihadapanku, jauh sejauh jarak langit ketujuh dengan dasar sumur bor lapindo.
Jangankan Sepuluh milyar, satu milyar saja tak terbayangkan olehku jika harus kukumpulkan dari gajiku sebagai guru, aku butuh berapa puluh tahun??

“Saya tau nak mas Adi bingung!, ya kan?, saya ini dikenal sebagai orang yang bisa ngambil uang dengan jumlah tak terbatas, tetapi saya punya pantangan yaitu tak boleh memakai uang itu untuk keperluan saya pribadi”. Ia mencoba menjawab pikiran-pikiranku

“Sekarang saya bawa kok uangnya, tapi sedikit, hanya dua milyar”.

Bola mataku bergeraka cepat mencoba menangkap dimana uang itu berada. Mataku tertuju ke sebuah tas lusuh tanpa merk, masa iya?? Disana uang itu disimpan?. Aku pernah melihat di TV uang dengan jumlah nominal satu milyar yang ditata rapi dalam sebuah kopor besar!, yang ini dua milyar dalam tas sekecil itu, kok rasanya sulit dipercaya. Atau ….ah, mungkin masih di simpan di mobilnya? Siapa tau?.

Tiba-tiba orang berbaju batik merapatkan tangan di depan dada dengan kedua telapak tangan yang tertempel satu dengan yang lain, ia komat-kamit seperti menggerutu, aku semakin bingung plus curiga!

Jangan-jangan……

Sesaat kemudian orang itu melakukan gerakan seolah mengangkat barang yang berat sekali, ia mengangkat barang yang tak terlihat olehku itu keatas meja

“Ini nak mas, uang ghaib sejumlah dua milyar, saya berjanji beberapa hari lagi saya akan datang dan akan saya genapi jumlahnya menjadi sepuluh milyar”. Ia menjelaskan “Uang ini bisa dipakai setelah empat puluh hari, selama kurun waktu itu, nak mas harus tirakat4 , ndak boleh makan dari bahan makanan yang mengandung nyawa”

Aku baru bisa menyimpulkan kelakuan orang-orang ndak waras ini, dan sisi lain dari diriku mengusikku. Orang-orang ini harus diberi pelajaran!

“Terima kasih atas kebaikan bapak-bapak ini, saya tersanjung lho dibantu dengan modal usaha yang sangat saya butuhkan, saya berjanji uang ini akan saya pergunakan sebagai modal usaha, membeli rumah yang telah saya idamkan dan membangun lembaga pendidikan, tetapi sebelum pulang saya ada sedikit rejeki sebagai ucapan terima kasih, mohon tunggu sebentar”.

“Wah ndak usah repot-repot, kami punya ongkos kok, walau hanya sedikit”.
Lucunya orang yang memakai kaus partai menyikut perut temannya.

“Ndak kok pak, mumpung saya ada”.

Raut wajah mereka terlihat berwarna cerah kekuningan.

Aku masuk kekamar dan sesaat kemudian aku keluar, aku berjalan seolah dengan menjinjing sesuatu, lalu kuletakkan diatas meja.

“Saya hanya punya lima ratus juta pak, semoga cukup untuk perjalanan pulang bapak, tolong dibagi rata saja, saya tak punya kresek5 untuk membaginya”.
Kubaca raut wajah mereka yang terlihat pucat pasi.

Mereka pamit dengan tertunduk, aku malas menerka apa yang mereka pikirkan.


Catatan.
1. Istilah untuk, adik, saudara sepupu, dan keponakan yang masih usia belia
2.Menenggak minuman keras
3. Ikrar Janji angkat saudara atau seolah menjadi keluarga
4.Ritual khusus yang biasanya dimaksudkan untuk mempermudah hajat yang kita inginkan, ada pati geni, ngrowot, puasa senin kamis dan lain-lain
5. Kantung plastik

0 komentar:

Posting Komentar